Saturday, 23 May 2015

NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 10

NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 10

--- Penulis: Takashi Yano ---
--- Ilustrasi: Masashi Kishimoto ---

--- H S M ---

―Lautan manusia terhampar di alun-alun depan istana hari ini.

Bukan hanya para Kakusha yang berada di tempat itu, namun mungkin juga seluruh penduduk desa. Baik laki-laki maupun perempuan, tanpa peduli akan usia atau juga status sosial, semuanya tumpah ruah menjadi satu, menantikan kehadiran pemimpin mereka.

Semangat, serta kesetiaan yang luar biasa terlukis jelas dalam raut wajah orang-orang itu. Suara mereka menggema, melantunkan segala puja-puji bagi sosok yang sedang mereka nantikan kemunculannya. Namun, bagi Shikamaru, semua itu tak lebih dari sesuatu yang bising dan menjengkelkan.

Terjebak dalam kerumunan manusia sebanyak itu, ditambah lagi cuaca pagi yang cukup terik, membuat Shikamaru yang saat ini mengenakan jubah panjang para Kakusha itu benar-benar basah kuyup bermandikan keringat.

Rou berada tepat di sampingnya. Sementara Soku saat ini tengah mengintai dari atas atap sebuah gedung yang berada di seberang alun-alun, menunggu gilirannya beraksi tiba.

Saat ini Rou menggunakan kemampuannya untuk menyamarkan chakra Shikamaru agar menyerupai chakra si pemilik asli jubah yang saat ini dia kenakan. Baik secara kualitas, maupun kuantitas. Tentu saja, Rou juga melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri.

Wajah mereka juga telah tersamarkan, lagi-lagi atas kontribusi Rou. Itu merupakan sesuatu yang sangat penting, karena tak peduli seberapa baiknya mereka menyembunyikan chakra, bila musuh memiliki seseorang dengan mata yang awas, atau seseorang yang pandai mengingat wajah, penyamaran mereka berdua akan dengan mudah terbongkar. Setidaknya, keterampilan Rou ini memberikan cukup jaminan bahwa penyamaran mereka telah sempurna, baik luar maupun dalam.

Dengan semua kedok yang mereka kenakan, akan sangat sulit membedakan Shikamaru dan Rou dari para Kakusha asli yang mereka tiru identitasnya. Lagipula, keberadaan Shikamaru dan Rou sendiri juga telah tersamarkan oleh kerumunan manusia yang luar biasa banyaknya ini.

Semuanya telah diatur sedemikian rupa, pihak musuh tidak akan menyadari kalau mereka ada di sana.

“Tuan Shikamaru, saya rasa kita harus mendekat ke tempat itu.” Ujar Rou lirih. Pandangan matanya tetap fokus mengawasi sebuah panggung yang berada di depan kerumunan, ke sanalah mereka akan menuju.

Panggung tersebut tak terlalu megah, hanya lebih tinggi beberapa jengkal dari tanah. Terlihat pula barisan anak tangga yang terbuat kayu menghiasi kedua sisinya. Tak ada apapun di atasnya, tidak ada mikrofon, tidak ada pula barisan pengawal, panggung tersebut terlihat kosong melompong. Letaknya juga sangat dekat dengan kerumunan, bahkan beberapa orang di barisan terdepan ada yang berhasil menyentuhnya.

“Saya penasaran, apa Gengo benar-benar akan muncul?” gumam Rou, tampak ada sedikit keraguan di wajahnya.

Apa yang dirasakan Rou tersebut ada benarnya. Bagi pemimpin sebuah negara, berdiri di atas panggung yang tak memiliki pengamanan satu apapun adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Dia akan menjadi sasaran yang sangat mudah di serang.

Bila Gengo benar-benar muncul di atas panggung seperti itu, maka bisa dikatakan, dia sama sekali tidak memiliki rasa curiga sedikitpun bahwa ada pihak-pihak yang mungkin mengincar nyawanya.

“Untuk saat ini, yang harus kita lakukan hanyalah mendekat ke sana, lalu menunggu. Bila Gengo tidak juga muncul hari ini, kita mundur.” ujar Shikamaru.

“Saya mengerti.” jawab Rou.

Benar, yang saat ini harus mereka lakukan adalah terus mendekat ke arah panggung. Sedekat yang mereka bisa, setidaknya hingga berada dalam jarak dimana Kagemane no Jutsu milik Shikamaru mampu menjangkau Gengo. Sesuai rencana, setelah Shikamaru berhasil membelenggu pergerakan Gengo, Soku akan menyelesaikan semuanya dengan jarum chakra miliknya.

“Tapi, bila dia benar-benar mun-“

Kata-kata Rou terpotong oleh sorak-sorai yang tiba-tiba terdengar dari barisan paling depan. Keriuhan tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh alun-alun bagaikan sebuah gelombang pasang. Shikamaru masih terus mencoba bergerak maju ke barisan terdepan, bertahan sebisa mungkin di tengah teriakan orang-orang disekitarnya yang semakin lantang memekakkan telinga.

Tak lama, sesosok pria menampakkan diri di atas panggung.

--- H S M ---

Dia mengenakan jubah panjang berwarna hitam, serupa dengan yang dipakai para Kakusha. Namun kontras dengan jubah mereka yang terkesan suram, jubah milik pria ini dipenuhi hiasan berwarna-warni yang tak terhitung jumlahnya. Dia juga memakai sebuah ikat pinggang yang terbuat dari perak, ukurannya lumayan besar. Seakan masih belum cukup, sepasang renda berbentuk dua ekor ular berwarna perak juga menghiasi lengan-lengan jubahnya. Dibandingkan dengan seluruh penduduk desa, atau bahkan para Kakusha, penampilan orang ini terlihat jauh lebih mencolok.

Rambut pria itu berwarna biru tua. Perawakannya tegap, sementara wajahnya terlihat tenang, namun tegas. Dari sepasang matanya yang tajam dan berbinar, tersirat bahwa dia adalah seorang yang cerdas. Samar-samar, terlihat pula bekas pangkasan rambut di dagunya, sepertinya dia baru saja bercukur.

Secara keseluruhan, pria itu terlihat seperti seseorang yang berusia sekitar 30 tahunan.

“Orang itu... Apa mungkin orang itu yang bernama Gengo?” gumam Rou yang tiba-tiba berhenti berjalan.

Shikamaru tak menjawab, dia terus bergerak maju. Dia sangat yakin, bahwa orang yang baru saja muncul di atas panggung tersebut adalah benar-benar Gengo.

Perlahan, orang itu mengangkat lengan kanannya ke udara. Seketika itu pula, segala keriuhan yang semenjak tadi bising terdengar berangsur surut dan akhirnya menghilang. Matanya terpejam sejenak, lalu tersenyum. Perlahan dia mengambil nafas dan mulai berbicara.

“Pertama-tama... Aku ingin mengucapkan banyak terima kasih bagi semua yang telah berkumpul di sini, hari ini.”

Suaranya terdengar berat, namun entah kenapa, terasa menenangkan. Seakan-akan mampu membuat seseorang mendengarnya bukan hanya dengan telinga, namun juga dengan hati dan seluruh tubuhnya.

Termasuk Shikamaru. Entah kenapa, sesaat setelah mendengar orang itu berbicara, Shikamaru merasakan sesuatu yang begitu mengganggu dan membuat hatinya gelisah.

Rou berhasil menyusul Shikamaru setelah tadi sempat tertinggal. Sekilas terlihat, bahwa dia juga merasakan perasaan tidak nyaman yang sama dengan Shikamaru. Kedua Shinobi itu segera memberi isyarat satu sama lain, lalu kembali bergerak dengan langkah mereka yang perlahan dan senyap.

“Sudah sepuluh tahun sejak pertama kali aku berdiri di atas panggung ini. Semakin banyak saudara sepemikiran yang bergabung dengan kita, dan negara ini terus menerus berkembang. Namun, belum ada satupun dari impian kita yang terwujud.”

Semua yang hadir saat itu mendengarkan dalam keheningan. Tak ada satupun yang terdengar, selain tentunya suara orang itu yang terdengar jelas meski tanpa pelantang. Oleh karenanya, ketika orang itu berhenti bicara, suasana alun-alun benar-benar berubah sunyi, seakan tanpa kehidupan.

“Aku punya pertanyaan untuk kalian, para penduduk Shijima no Kuni!”

Suara orang itu yang sebelumnya terdengar tenang, tiba-tiba berubah menjadi menggelora penuh semangat. Kata demi kata dia ucapkan lantang, seakan semua itu keluar langsung dari lubuk hatinya yang terdalam.

“Negeri ini semasa dipimpin Daimyo, atau negeri ini di masa sekarang... Menurut kalian, yang manakah yang lebih baik? Siapa yang lebih mampu memimpin negeri ini?”

“TUAN GENGO!!”

Ya, orang yang saat ini berdiri di atas panggung itu ternyata memang benar-benar Gengo. Semua yang hadir saat itu serempak meneriakkan namanya, membuatnya menggema di seluruh penjuru alun-alun.

“Tidak salah lagi... Orang itu adalah Gengo.” gumam Rou.

Shikamaru hanya mengangguk, dan kembali bergerak. Saat ini mereka berdua berada semakin dekat dengan panggung. Hanya tinggal beberapa meter lagi, sebelum akhirnya mereka sampai ke jarak ideal bagi Kagemane no Jutsu milik Shikamaru.
Saat-saat inilah yang menentukan keberhasilan seluruh misi.

--- H S M ---

Gengo mengangkat tangan kanannya sekali lagi, dan keadaan yang sejenak tadi riuh rendah telah kembali tenang.

“Aku sangat senang mendengar jawaban kalian. Hari-hari dimana Daimyo berkuasa telah usai. Ya, Daimyo, orang yang sama sekali tidak pernah menghargai kebijaksanaan kita, kekuatan kita, dan diri kita para Shinobi... Itu semua telah berakhir, masa-masa kelam itu telah lama berakhir!”

“Para penduduk Shijima no Kuni yang sangat aku cintai, telah tiba era dimana kalian akan merasakan perdamaian yang sesungguhnya. Kami para Kakusha... Kami yang telah tercerahkan ini akan melindungi kalian untuk selama-lamanya, dengan segala daya upaya yang kami miliki, bahkan dengan nyawa kami sekalipun!”

“Kalian tidak perlu khawatir akan apapun. Kesejahteraan, kemakmuran, kenyamanan hidup, semuanya akan kami wujudkan... Karena memang itulah impian kami para Kakusha.”

Semua yang hadir di tempat itu benar-benar terhanyut oleh kata-kata Gengo. Beberapa bahkan ada yang sampai meneteskan air mata.

Sejujurnya, Shikamaru berpikir bahwa apa yang dikatakan Gengo bukanlah sesuatu yang istimewa. Tak peduli seberapa keras dia berusaha mengolah kata-kata, apa yang dia sampaikan sama sekali bukan pidato yang enak didengar. Namun tetap saja, Shikamaru mengakui bahwa ada sesuatu yang misterius terkandung dalam suara Gengo, entah apa.

“Negeri kita ini terletak di wilayah pinggiran. Sejarah menulis kita sebagai negeri yang terasingkan, yang tertindas, yang diinjak-injak. Para pendahulu negeri ini memutus hubungan dengan dunia luar bukan untuk melindungi kalian, akan tetapi untuk menguasai kekayaan Shijima no Kuni bagi diri mereka sendiri! Bila kita tetap menutup diri, kita akan semakin lemah... Tapi sekarang, itu semua telah berakhir.”

Nada suara Gengo terdengar meninggi.

“Orang seperti Daimyo sama sekali tidak pantas memimpin dunia! Kami para Shinobi lah yang seharusnya menyandang tugas itu. Berkat perjuangan para Shinobi, negeri ini dapat terlindungi.”

“Keberadaan para Shinobi yang memiliki kekuatan dan kebijaksanaan melebihi manusia biasa adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Namun tetap saja, dunia ini malah dipimpin oleh para Daimyo. Orang-orang egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri, bahkan menginjak-injak para Shinobi dan rakyatnya tanpa perasaan!”

“Lihatlah... Sudah sepuluh tahun berlalu sejak aku menggulingkan Daimyo yang berkuasa. Negeri ini tumbuh semakin makmur sejak saat itu!” Gengo membusungkan dadanya dengan bangga.

“Hampir sampai...” gumam Shikamaru.

Hanya tinggal beberapa langkah saja, maka Gengo akan berada dalam jangkauan bayangannya.

“Negeri ini hanyalah awal. Selanjutnya, aku akan memusnahkan para Daimyo yang berkuasa di seluruh dunia, dan membangun sebuah era baru bagi kita semua!”

“Mengapa mereka tidak pernah menghormati kita? Padahal kita menyandang kekuatan yang jauh lebih hebat dari Daimyo manapun!”

“Lalu mengapa kita selalu dipinggirkan? Bukankah kita sangat berjasa bagi mereka? Mereka memandang kita sebelah mata, mendiskriminasi dan mengasingkan kita, menginjak-injak kita di bawah keserakahan mereka! Para Shinobi dan rakyat jelata, kita semua sama, kita adalah... korban.”

“Mengapa para Daimyo melakukan itu semua? Itu karena... sesungguhnya mereka takut pada kita!”

Tanpa mempedulikan pidato Gengo yang berapi-api, Shikamaru dan Rou terus bergerak maju. Saat ini mereka sudah berada di dekat panggung, cukup dekat untuk melihat sosok Gengo dengan lebih jelas.

Sedikit lagi, tinggal sedikit lagi.

Sejauh ini mereka berdua mampu mendekat ke arah Gengo dengan sangat mudah, hampir tidak ada halangan yang berarti. Namun justru itulah yang sedikit mengganggu pikiran Shikamaru.

Shikamaru merasa ini terlalu mudah, mungkinkah sebuah perangkap?

Namun dia cepat-cepat menepis kecurigaannya tersebut. Shikamaru meyakinkan dirinya sendiri, bahwa dengan segala penyamaran yang dia dan Rou kenakan, musuh tidak akan mungkin mengenali mereka.

Ini adalah kesempatan yang sangat bagus, dan mereka harus tetap maju. Itulah yang ada dalam benak Shikamaru saat ini.

“REVOLUSI...” ucap Gengo, singkat.

“Akatsuki pernah berdiri menantang dunia demi mewujudkan sebuah era yang baru, namun pada akhirnya mereka tumbang, dihancurkan oleh dunia Shinobi yang tak pernah berubah. Keadaan tak menjadi lebih baik setelahnya, para Shinobi masih saja dimanfaatkan dan berada di bawah bayang-bayang kekuasaan para Daimyo. Namun... Akatsuki benar-benar menghidupi makna nama mereka, yaitu fajar. Ya, Akatsuki adalah simbol dari fajar penuh harapan yang akan segera menyingsing!”

“Sekarang dengarlah, wahai para penggenggam mentari pagi yang terbit dari kegelapan yang hening!”

Gengo perlahan mengangkat kedua tangannya ke udara, seakan sedang menyambut para dewa yang turun dari kahyangan.

“Secercah cahaya pertama dari mentari fajar dunia yang baru ini... akan terbit dari negeri kita tercinta, Shijima no Kuni!”

Seketika, semua yang berada di situ berteriak dengan semangat yang menggelora. Begitu kerasnya, seakan bumi ikut bergetar.

Inilah kesempatan yang mereka tunggu-tunggu sejak tadi.

Shikamaru melepaskan bayangannya. Sulurnya bergerak cepat menyusuri kerumunan layaknya seekor ular berwarna hitam kelam, kemudian merayap ke atas panggung dan berhenti tepat di kaki Gengo.

Tepat setelah bayangan itu menangkap kaki Gengo, pergerakannya akan terbelenggu, dan Soku akan mengakhiri semuanya dengan jarum chakra miliknya.

Semua akan baik-baik saja, semua berjalan sesuai rencana.

Hanya saja...

Bayangan Shikamaru... tak mampu mencapai Gengo.

“Kenapa ini... Harusnya dia ada dalam jangkauan, dia sudah ada dalam jangkauan! Lalu kenapa bayanganku... Kenapa bayanganku tak mampu mencapainya?!” Shikamaru terlihat kebingungan.

“Tikusnya ada di sebelah sana...” Perlahan namun pasti, Gengo mengalihkan pandangannya pada Shikamaru yang berada di tengah kerumunan. Tatapan matanya masih tetap tenang, namun entah kenapa, terasa sangat mengancam.

“Tuan Shikamaru! Dia menyadari keberadaan kita!” teriak Rou.

Beberapa sosok melompat ke arah Rou, menahannya.

Shikamaru belum menyerah, dia mencoba mencapai Gengo dengan bayangannya sekali lagi.

“Itu sia-sia saja...” ujar Gengo.

Bayangan Shikamaru, yang sudah bagaikan perpanjangan tangan dan kakinya sendiri itu, tiba-tiba berubah menjadi tak terkendali, layaknya sebuah layang-layang yang benangnya terputus. Sulurnya sama sekali tak mampu mencapai target, mereka hanya berputar-putar tanpa arah di atas tanah.

Jika memang seperti itu...

Shikamaru melompat ke atas panggung, tangannya menggenggam sebuah Kunai. Rencananya telah gagal, maka tak ada pilihan lain, dia harus bertarung dan melakukan ini dengan tangannya sendiri.

Shikamaru menerjang ke arahnya, namun Gengo sama sekali tak bergeming. Justru tergores sebaris senyum di bibirnya.

Shikamaru semakin mendekat, dia mengayunkan senjatanya ke arah leher Gengo dengan cepat dan tepat.

Namun tiba-tiba...

―Duakkk!

Seseorang melompat dari arah samping panggung dan menendang Shikamaru tepat di perutnya. Shikamaru terhempas ke belakang, namun mampu menguasai keseimbangan dan kembali siaga.

Dia segera mengalihkan pandangannya ke sosok yang menyerangnya barusan.

“K-kau... Apa yang kau...?”

Seorang pria berdiri di antara Gengo dan Shikamaru. Kulitnya sangat putih, bahkan bisa dibilang pucat. Matanya sayu, seakan menyembunyikan sejuta misteri di baliknya. Sementara wajahnya terlihat tenang, nyaris tanpa ekspresi.

Tidak salah lagi, sepertinya Shikamaru mengenal siapa orang ini.

“Apa yang kau lakukan... Sai?”

--- Bersambung ke Novel Shikamaru Hiden Chapter 11 ---


Kembali Ke Daftar Isi
Klik



Sumber DNI.

No comments:

Post a Comment