NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 09
--- Penulis: Takashi Yano ---
--- Ilustrasi: Masashi Kishimoto ---
--- H S M ---
Shikamaru gemetaran, rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Lantai ubin yang keras dan seakan beku itu benar-benar berhasil membuatnya menggigil.
Tak ada satupun jendela di tempat ini. Sementara dinding dan langit-langitnya, semua terbuat dari beton berwarna abu-abu. Di ruangan suram inilah terlihat Shikamaru, Rou, dan Soku tengah duduk melingkar, sepertinya merencanakan sesuatu.
Mereka bertiga telah mengenakan jubah para Kakusha ―’mereka yang tercerahkan’. Tentu saja itu semua hasil rampasan. Bahkan ruangan tempat mereka berada saat ini pun juga hasil rampasan. Pemilik aslinya adalah seorang Kakusha yang mereka sekap di ruangan sebelah, dia pingsan setelah terkena jarum chakra pelumpuh milik Soku.
Tentu saja, dalam serangkaian perampasan tersebut, Shikamaru dan yang lain juga sempat menggali informasi dari korban mereka. Hasilnya lumayan, beberapa hal yang cukup penting berhasil mereka ketahui.
“Sepertinya dugaan awal tuan Shikamaru memang benar.” ujar Rou, membuka pembicaraan. “Negeri ini memang dipimpin oleh seseorang bernama Gengo, sosok yang sepertinya memiliki kharisma dan pengaruh yang luar biasa.”
Shikamaru setuju dengan Rou, terutama dalam hal kharisma Gengo.
Sejauh ini, terhitung sudah tiga orang Kakusha yang berhasil mereka interogasi. Dan ketiga-tiganya memiliki satu persamaan, yaitu keyakinan mereka yang tak tergoyahkan terhadap sosok bernama Gengo.
Keyakinan. Ya, keyakinan yang dimiliki para Kakusha terhadap Gengo benar-benar berbeda dari yang dimiliki Shinobi-Shinobi Konoha terhadap pimpinan mereka, Hokage. Bahkan juga berbeda dari kepercayaan yang Konoha titipkan pada diri seorang Uzumaki Naruto.
Rasa cinta dan saling menghargai satu sama lain. Menurut Shikamaru, itulah ikatan yang dimiliki oleh para Shinobi Konoha, baik kepada Hokage, maupun Naruto.
Namun ini berbeda. Cara para Kakusha menghormati Gengo benar-benar terasa berbeda. Mereka bicara tentang Gengo seolah-olah dia adalah seorang Dewa. Para Kakusha menganggap diri mereka sama sekali bukan apa-apa di hadapannya. Sebuah keyakinan yang luar biasa, namun di saat yang bersamaan, mengerikan.
Orang macam apa yang mampu melakukan semua itu...
Pertanyaan itu sangat mengganggu Shikamaru, dia ingin sekali mengetahui jawabannya.
“Yah, kau tahu? Bukannya sudah jelas dari awal, kalau kita ingin mengakhiri apapun yang sedang terjadi di negeri ini, kita harus membunuh Gengo.” ujar Soku dengan gaya bicaranya yang tanpa basa-basi, sama seperti biasanya.
“Kau pikir untuk apa aku dan pak tua ini ditugaskan bersamamu. Kalau situasinya tidak seperti ini, kau tidak akan butuh kami. Meskipun sebenarnya, kau tahu? Aku akan lebih senang kalau memang kau tidak butuh kami.”
Meskipun terdengar sedikit kurang sopan, kata-kata Soku memang benar adanya.
“Seakan-akan, pemikiran mereka tentang Gengo telah berubah menjadi semacam... agama.” ujar Rou.
“Kau tahu? Kali ini aku sependapat denganmu.” Soku mengangguk. “Pasti sudah terjadi sesuatu pada mereka, sesuatu yang mampu membuat mereka terikat pada Gengo.” lanjutnya.
“Apa yang kau maksud dengan ‘sesuatu’, Hinoko?”
“Shikamaru-san! Sudah berapa kali ku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu!” Soku seketika berdiri, wajahnya terlihat sangat kesal. Jari telunjuk Soku mengarah ke Shikamaru, dengan chakra berwarna jingga terlihat meletup-letup dari ujungnya. “Sekali lagi kau memanggilku seperti itu, aku akan benar-benar menghajarmu!”
Soku sangat kesal, saking kesalnya, dia sampai lupa mengucapkan ‘kau tahu’ dalam setiap kalimatnya.
“Lagipula, kenapa kau tidak menyukainya? Menurutku, itu nama yang bagus...” Shikamaru bertanya balik. Nama Hinoko sendiri memiliki makna yang cukup indah, yaitu bunga api.
“Justru karena itulah! Justru karena itulah aku tidak suka!” Chakra Soku menyala semakin terang seiring rasa kesalnya. “Kenapa bukan nama-nama keren seperti Gorai, atau Shippu, atau bisa juga Kimidare, itu terdengar jauh lebih baik! Kenapa harus Hinoko!”
Sepertinya benar. Tak peduli seberapa ahlinya Soku sebagai seorang Shinobi, jauh di dalam dirinya, Soku tetaplah seorang gadis berusia 14 tahun. Kata-katanya soal ‘nama-nama keren’ barusan adalah buktinya. Shikamaru berusaha keras untuk tidak tertawa. Tertawa hanya akan memperburuk keadaan, pikirnya.
Sepertinya raut muka tegang Shikamaru yang sedang menahan tawa itu disalah-artikan oleh Soku sebagai ekspresi penyesalan. Chakra yang sebelumnya meluap-luap di ujung telunjuknya perlahan-lahan menghilang.
“Aku minta maaf.” ujar Shikamaru yang mulai dapat menguasai dirinya. “Aku benar-benar tidak tahu kalau kau membenci namamu sendiri sampai sejauh itu. Aku akan lebih hati-hati.”
“Ba-baguslah kalau kau sudah paham...” Soku terlihat sedikit malu setelah meluapkan rasa kesalnya, wajahnya tertunduk memandang lantai.
--- H S M ---
Sebuah peta desa Tirai terhampar di lantai di depan mereka bertiga. Ini juga hasil rampasan dari si Kakusha pemilik ruangan.
“Menurut saya, bentuk desa ini benar-benar mirip sebuah jaring laba-laba.” ujar Rou sembari bersedekap, sepertinya sedang berpikir.
Shikamaru juga memperhatikan peta tersebut dengan seksama. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada gambar sebuah bangunan besar yang berada di tengah-tengah desa. Tulisan di sebelah gambar tersebut berbunyi, ‘istana bagi tahanan yang mengambang’.
“Tahanan yang mengambang?” Shikamaru heran.
“Itu istilah untuk merendahkan martabat seseorang.” jelas Rou dengan pengetahuannya tentang masa lalu. “Biasa digunakan untuk para tahanan perang, atau gelandangan yang hidup di sekitar pinggiran kota besar. Orang-orang yang tidak jelas nasibnya.”
“Merendahkan martabat ya...” Ujar Shikamaru, dia terlihat memikirkan sesuatu. “Apa Gengo yang menamainya? Atau memang sudah seperti itu sebelum dia berkuasa?” tanya Shikamaru.
“Shijima no Kuni selalu menghindari kontak dengan negara-negara lain. Karena itulah, bahkan ANBU Konoha sekalipun hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai negeri ini.” ujar Rou.
“Jadi begitu.” Entah kenapa, Shikamaru memiliki firasat bahwa Gengo sendirilah yang memberi nama bangunan tersebut. Namun dia memilih tidak membahas itu lebih lanjut.
“Lagipula, kenapa juga dia menamai istananya sendiri dengan nama aneh seperti itu...” ujar Shikamaru.
“Apa mungkin maknanya seperti ini? ―ketika lima negara besar dan negara-negara kecil yang lain saling berebut wilayah di dataran utama, kami para gelandangan dipaksa hidup di daerah pinggiran― Jadi, menurut saya negeri ini sengaja merendahkan martabat mereka sendiri.” jelas Rou.
“Entahlah, mungkin memang seperti itu.” Shikamaru sependapat.
“Konyol sekali.” Soku tiba-tiba menyela. Sejak tadi dia hanya diam mendengarkan Rou dan Shikamaru, namun akhirnya ikut angkat bicara juga. “Merendahkan martabat diri sendiri, menyebut diri sendiri sebagai sampah, hal gila macam apa itu? Apa benar orang-orang sinting seperti mereka akan coba menguasai dunia Shinobi? Heh, menggelikan.”
Lagi-lagi Soku lupa mengucapkan ‘kau tahu’.
Shikamaru sadar, Soku sangat kesal pada orang-orang di negeri ini, yang entah kenapa, dengan sengaja merendahkan martabat mereka sendiri.
“Mungkin, lewat merendahkan diri itulah mereka menemukan keberanian untuk menunjukkan taring dan melawan dunia.”
Soku hanya diam mendengar jawaban Shikamaru. Dia memalingkan wajahnya yang terlihat muak.
“Keinginan untuk balas dendam muncul dari kebencian kita terhadap musuh. Dan kebencian adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa lahir dalam diri seseorang tanpa adanya konflik yang memicunya.” lanjut Shikamaru.
“Bila seperti itu, apa menurut tuan Shikamaru orang-orang negeri ini memiliki kebencian terhadap negara-negara lain?” Rou bertanya.
“Kau tahu? Itu benar-benar menggelikan.” Lagi-lagi Soku menyela, kali ini dia tidak lupa mengucapkan ‘kau tahu’. “Semua Kakusha yang katanya berkuasa di negeri ini adalah para mantan Shinobi dari negara-negara lain, benar kan?”
Kata-kata Soku ada benarnya. Pada kenyataannya, lewat penyelidikan dan interogasi yang sejauh ini mereka lakukan, ditemukan fakta bahwa memang seluruh Kakusha yang berkuasa di negeri ini adalah orang-orang yang dulunya merupakan Shinobi dari negara-negara lain. Beberapa dari mereka hilang dalam perang besar, sementara sisanya adalah mereka yang masuk daftar Nukenin dalam setahun terakhir. Dan mereka semua adalah bawahan yang setia pada Gengo.
Mereka juga mendapat informasi bahwa negeri ini memang pernah dipimpin oleh seorang Daimyo. Dan dapat ditebak, pihak yang menggulingkan Daimyo, mengangkat para Kakusha, serta mengubah Shijima no Kuni hingga ke akar-akarnya, tak lain adalah seorang bernama Gengo.
Apapun itu, harus diakui bahwa saat ini Shijima no Kuni adalah sebuah negara yang dikuasai oleh para Shinobi.
--- H S M ---
“Bila mereka membenci negara-negara lain... Itu artinya, mereka juga membenci desa yang pernah menjadi rumah mereka masing-masing. Kau tahu? Itu mustahil...” lanjut Soku.
Soku sepertinya masih asing dengan pengkhianatan seorang Shinobi pada desa kelahirannya.
“Banyak juga Shinobi yang seperti itu.” ujar Shikamaru, suaranya terdengar tenang. “Kelompok kriminal yang menyebabkan perang besar terakhir ―Akatsuki, sebagian besar beranggotakan para Nukenin yang mengkhianati desa mereka masing-masing. Mereka adalah orang-orang dengan kemampuan mengerikan, serta memiliki kebencian yang luar biasa terhadap dunia Shinobi.”
Ketika seseorang terjebak dalam sebuah situasi yang sangat buruk, kegelapan akan mulai menyelimuti. Bukanlah sebuah hal yang aneh apabila semua kebencian dan kemarahan itu mampu membuat seseorang memberontak pada negaranya sendiri. Seseorang akan menyalahkan desanya atas segala penderitaan dan ketidakberuntungan yang dia alami. Dia akan menyalahkan struktur desa dan negaranya yang cacat, lebih dari itu... dia akan menyalahkan seluruh dunia.
Dari pemikiran semacam itulah, akhirnya terlahir orang-orang seperti para anggota Akatsuki dan para Kakusha, ‘mereka yang tercerahkan’.
“Tapi, katakanlah itu benar...” Ujar Rou, sementara Shikamaru dan Soku diam memperhatikan. “Katakanlah memang benar bahwa para Kakusha merasa kecewa terhadap keadaan dunia Shinobi saat ini, dan mereka datang ke negeri ini atas dasar kekecewaan itu... Lalu apa artinya? Bukankah apa yang mereka lakukan di sini juga tidak ada bedanya dengan apa yang selama ini terjadi di dunia Shinobi?”
Rou benar. Berdasarkan informasi yang berhasil mereka dapatkan, diketahui bahwa Shijima no Kuni menawarkan jasa kurir serta rute khusus bagi urusan perniagaan. Mereka bahkan juga menerima permintaan misi dari berbagai wilayah, sesuatu yang lazimnya dilakukan oleh negara-negara dan desa Shinobi. Namun yang lebih menarik adalah, tarif dasar yang mereka kenakan atas jasa-jasa tersebut jauh lebih murah dari apa yang dapat ditawarkan oleh Serikat Shinobi.
Lima negara besar sangat mengutamakan kredibiltas pelayanan mereka, namun seperti dikatakan banyak orang, kualitas menentukan harga. Kehandalan mereka dalam menjalankan misi juga berimbas pada besarnya tarif yang mereka kenakan atas setiap jasanya. Dalam keadaan seperti itu, kehadiran Shijima no Kuni benar-benar menjadi sebuah alternatif bagi negara-negara kecil yang tidak memiliki cukup biaya untuk berurusan dengan Serikat Shinobi.
Pantas saja permintaan misi yang diterima Serikat Shinobi semakin surut dari hari ke hari.
Itulah maksud perkataan Rou. Bagaimana mungkin, orang-orang yang muak terhadap dunia Shinobi dan mengkhianati desa mereka atas alasan itu, mau datang jauh-jauh ke Shijima no Kuni, hanya untuk melakukan apa yang sebelumnya juga mereka lakukan sebagai seorang Shinobi.
Dari sisi manapun, itu benar-benar tidak masuk akal.
“Revolusi yang sebenarnya...” Gumam Soku tiba-tiba.
Ketika Shikamaru dan Rou mengalihkan pandangan mereka pada Soku, gadis itu terlihat salah tingkah.
“I-itu yang dikatakan orang itu, si Minoichi... ‘tujuan kami adalah mengobarkan api revolusi yang sebenarnya di dunia ini, dan kami akan melangkah maju bersama tuan Gengo...’ bla bla bla... dan seterusnya, dan seterusnya...” ujar Soku.
“Jadi menurutmu, apa yang mereka lakukan itu hanyalah bagian dari rencana untuk mencapai tujuan mereka yang sebenarnya, yaitu revolusi. Benar begitu?” tanya Shikamaru.
Soku mengangguk.
“Hmm, bagaimanapun... Gengo adalah sebuah ancaman yang harus segera dibinasakan.” gumam Rou.
“Itu benar. Dan kau tahu? Kita diberkati dengan kesempatan yang sangat bagus.” ujar Soku, sembari menunjuk gambar alun-alun di depan istana.
“Alun-alun ini pasti digunakan sebagai tempat pidato... Benar-benar panggung yang sempurna untuk sebuah pembunuhan diam-diam bukan?” Rou tertawa, dia melihat Shikamaru dengan roman wajah yang terlihat bersemangat.
Rou. Orang yang biasanya begitu sederhana dan rendah hati itu, saat ini bicara tentang sebuah rencana pembunuhan dengan senyum mengembang di wajahnya. Shikamaru seakan tersadar, bahwa jauh di dalam dirinya, Rou tetaplah seorang ANBU.
“Jadi kesimpulannya... Rou, kau akan menggunakan kemampuanmu untuk membuat kita berbaur dalam keramaian di alun-alun. Lalu, begitu berada dalam jangkauan, aku akan menggunakan bayanganku untuk mencapai Gengo dan membelenggunya. Dan Soku. Kau akan kutempatkan di atap bangunan terdekat yang memberimu pandangan jelas ke arah alun-alun. Begitu target terbelenggu, kau akan menyelesaikannya dengan jarum chakramu. Mengerti?” jelas Shikamaru.
Dua orang ANBU itu mengangguk tanda paham. Aura dingin mereka begitu terasa, seakan sudah tidak sabar untuk segera memulai rencana pembunuhan ini.
“Kami sangat mengandalkanmu, Hinoko.” ujar Shikamaru, entah sengaja atau tidak.
“Heeehhh! Sudah berapa kali kubilang jangan panggil aku dengan nama itu!” Soku berdiri, lagi-lagi dia terlihat kesal.
“Ehhmm... empat puluh kali.” bisik Rou.
“Haah?” Soku balik menatap Rou, seniornya di ANBU itu.
“Nama tuan Shikamaru di dalamnya memiliki kata ‘Shi’ yang artinya ‘empat’, dan ‘Maru’ yang artinya ‘kosong’... jadi ya, empat puluh.” jelas Rou, dengan wajah polosnya yang seakan tanpa dosa itu.
Soku terlihat semakin kesal mendengarnya.
“Lagi-lagi lawakan tidak bermutu!! Kenapa tidak sekalian ‘Ka’ yang kau artikan?!” geram Soku, dia melangkah maju ke arah Rou.
Rou segera berdiri dan bersembunyi di balik Shikamaru, menghindar dari amukan seorang gadis kecil berusia 14 tahun. Padahal kalau dipikir-pikir, selain jauh lebih tua, Rou juga bertubuh lebih besar dari juniornya itu.
Tentu saja, Rou bertingkah seperti itu hanya sebagai lawakan. Yah, mau bagaimana lagi, memang itu hobinya.
Namun tetap saja, Shikamaru merasa agak aneh melihat perilaku mereka berdua.
“Apa iya besok akan baik-baik saja...” Shikamaru menerawang, menghela nafas panjang.
Kedua ANBU itu seketika berhenti bertengkar, tergores senyum di wajah mereka.
“Kau tahu? Semua akan baik-baik saja.”
“Benar... tidak ada yang perlu Anda khawatirkan, tuan Shikamaru.”
Shikamaru bergeming, memandangi mereka berdua.
Helaan nafas panjang kembali keluar darinya.
--- Bersambung ke Novel Shikamaru Hiden Chapter 10 ---
--- Penulis: Takashi Yano ---
--- Ilustrasi: Masashi Kishimoto ---
--- H S M ---
Shikamaru gemetaran, rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Lantai ubin yang keras dan seakan beku itu benar-benar berhasil membuatnya menggigil.
Tak ada satupun jendela di tempat ini. Sementara dinding dan langit-langitnya, semua terbuat dari beton berwarna abu-abu. Di ruangan suram inilah terlihat Shikamaru, Rou, dan Soku tengah duduk melingkar, sepertinya merencanakan sesuatu.
Mereka bertiga telah mengenakan jubah para Kakusha ―’mereka yang tercerahkan’. Tentu saja itu semua hasil rampasan. Bahkan ruangan tempat mereka berada saat ini pun juga hasil rampasan. Pemilik aslinya adalah seorang Kakusha yang mereka sekap di ruangan sebelah, dia pingsan setelah terkena jarum chakra pelumpuh milik Soku.
Tentu saja, dalam serangkaian perampasan tersebut, Shikamaru dan yang lain juga sempat menggali informasi dari korban mereka. Hasilnya lumayan, beberapa hal yang cukup penting berhasil mereka ketahui.
“Sepertinya dugaan awal tuan Shikamaru memang benar.” ujar Rou, membuka pembicaraan. “Negeri ini memang dipimpin oleh seseorang bernama Gengo, sosok yang sepertinya memiliki kharisma dan pengaruh yang luar biasa.”
Shikamaru setuju dengan Rou, terutama dalam hal kharisma Gengo.
Sejauh ini, terhitung sudah tiga orang Kakusha yang berhasil mereka interogasi. Dan ketiga-tiganya memiliki satu persamaan, yaitu keyakinan mereka yang tak tergoyahkan terhadap sosok bernama Gengo.
Keyakinan. Ya, keyakinan yang dimiliki para Kakusha terhadap Gengo benar-benar berbeda dari yang dimiliki Shinobi-Shinobi Konoha terhadap pimpinan mereka, Hokage. Bahkan juga berbeda dari kepercayaan yang Konoha titipkan pada diri seorang Uzumaki Naruto.
Rasa cinta dan saling menghargai satu sama lain. Menurut Shikamaru, itulah ikatan yang dimiliki oleh para Shinobi Konoha, baik kepada Hokage, maupun Naruto.
Namun ini berbeda. Cara para Kakusha menghormati Gengo benar-benar terasa berbeda. Mereka bicara tentang Gengo seolah-olah dia adalah seorang Dewa. Para Kakusha menganggap diri mereka sama sekali bukan apa-apa di hadapannya. Sebuah keyakinan yang luar biasa, namun di saat yang bersamaan, mengerikan.
Orang macam apa yang mampu melakukan semua itu...
Pertanyaan itu sangat mengganggu Shikamaru, dia ingin sekali mengetahui jawabannya.
“Yah, kau tahu? Bukannya sudah jelas dari awal, kalau kita ingin mengakhiri apapun yang sedang terjadi di negeri ini, kita harus membunuh Gengo.” ujar Soku dengan gaya bicaranya yang tanpa basa-basi, sama seperti biasanya.
“Kau pikir untuk apa aku dan pak tua ini ditugaskan bersamamu. Kalau situasinya tidak seperti ini, kau tidak akan butuh kami. Meskipun sebenarnya, kau tahu? Aku akan lebih senang kalau memang kau tidak butuh kami.”
Meskipun terdengar sedikit kurang sopan, kata-kata Soku memang benar adanya.
“Seakan-akan, pemikiran mereka tentang Gengo telah berubah menjadi semacam... agama.” ujar Rou.
“Kau tahu? Kali ini aku sependapat denganmu.” Soku mengangguk. “Pasti sudah terjadi sesuatu pada mereka, sesuatu yang mampu membuat mereka terikat pada Gengo.” lanjutnya.
“Apa yang kau maksud dengan ‘sesuatu’, Hinoko?”
“Shikamaru-san! Sudah berapa kali ku bilang, jangan panggil aku dengan nama itu!” Soku seketika berdiri, wajahnya terlihat sangat kesal. Jari telunjuk Soku mengarah ke Shikamaru, dengan chakra berwarna jingga terlihat meletup-letup dari ujungnya. “Sekali lagi kau memanggilku seperti itu, aku akan benar-benar menghajarmu!”
Soku sangat kesal, saking kesalnya, dia sampai lupa mengucapkan ‘kau tahu’ dalam setiap kalimatnya.
“Lagipula, kenapa kau tidak menyukainya? Menurutku, itu nama yang bagus...” Shikamaru bertanya balik. Nama Hinoko sendiri memiliki makna yang cukup indah, yaitu bunga api.
“Justru karena itulah! Justru karena itulah aku tidak suka!” Chakra Soku menyala semakin terang seiring rasa kesalnya. “Kenapa bukan nama-nama keren seperti Gorai, atau Shippu, atau bisa juga Kimidare, itu terdengar jauh lebih baik! Kenapa harus Hinoko!”
Sepertinya benar. Tak peduli seberapa ahlinya Soku sebagai seorang Shinobi, jauh di dalam dirinya, Soku tetaplah seorang gadis berusia 14 tahun. Kata-katanya soal ‘nama-nama keren’ barusan adalah buktinya. Shikamaru berusaha keras untuk tidak tertawa. Tertawa hanya akan memperburuk keadaan, pikirnya.
Sepertinya raut muka tegang Shikamaru yang sedang menahan tawa itu disalah-artikan oleh Soku sebagai ekspresi penyesalan. Chakra yang sebelumnya meluap-luap di ujung telunjuknya perlahan-lahan menghilang.
“Aku minta maaf.” ujar Shikamaru yang mulai dapat menguasai dirinya. “Aku benar-benar tidak tahu kalau kau membenci namamu sendiri sampai sejauh itu. Aku akan lebih hati-hati.”
“Ba-baguslah kalau kau sudah paham...” Soku terlihat sedikit malu setelah meluapkan rasa kesalnya, wajahnya tertunduk memandang lantai.
--- H S M ---
Sebuah peta desa Tirai terhampar di lantai di depan mereka bertiga. Ini juga hasil rampasan dari si Kakusha pemilik ruangan.
“Menurut saya, bentuk desa ini benar-benar mirip sebuah jaring laba-laba.” ujar Rou sembari bersedekap, sepertinya sedang berpikir.
Shikamaru juga memperhatikan peta tersebut dengan seksama. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada gambar sebuah bangunan besar yang berada di tengah-tengah desa. Tulisan di sebelah gambar tersebut berbunyi, ‘istana bagi tahanan yang mengambang’.
“Tahanan yang mengambang?” Shikamaru heran.
“Itu istilah untuk merendahkan martabat seseorang.” jelas Rou dengan pengetahuannya tentang masa lalu. “Biasa digunakan untuk para tahanan perang, atau gelandangan yang hidup di sekitar pinggiran kota besar. Orang-orang yang tidak jelas nasibnya.”
“Merendahkan martabat ya...” Ujar Shikamaru, dia terlihat memikirkan sesuatu. “Apa Gengo yang menamainya? Atau memang sudah seperti itu sebelum dia berkuasa?” tanya Shikamaru.
“Shijima no Kuni selalu menghindari kontak dengan negara-negara lain. Karena itulah, bahkan ANBU Konoha sekalipun hanya memiliki informasi yang terbatas mengenai negeri ini.” ujar Rou.
“Jadi begitu.” Entah kenapa, Shikamaru memiliki firasat bahwa Gengo sendirilah yang memberi nama bangunan tersebut. Namun dia memilih tidak membahas itu lebih lanjut.
“Lagipula, kenapa juga dia menamai istananya sendiri dengan nama aneh seperti itu...” ujar Shikamaru.
“Apa mungkin maknanya seperti ini? ―ketika lima negara besar dan negara-negara kecil yang lain saling berebut wilayah di dataran utama, kami para gelandangan dipaksa hidup di daerah pinggiran― Jadi, menurut saya negeri ini sengaja merendahkan martabat mereka sendiri.” jelas Rou.
“Entahlah, mungkin memang seperti itu.” Shikamaru sependapat.
“Konyol sekali.” Soku tiba-tiba menyela. Sejak tadi dia hanya diam mendengarkan Rou dan Shikamaru, namun akhirnya ikut angkat bicara juga. “Merendahkan martabat diri sendiri, menyebut diri sendiri sebagai sampah, hal gila macam apa itu? Apa benar orang-orang sinting seperti mereka akan coba menguasai dunia Shinobi? Heh, menggelikan.”
Lagi-lagi Soku lupa mengucapkan ‘kau tahu’.
Shikamaru sadar, Soku sangat kesal pada orang-orang di negeri ini, yang entah kenapa, dengan sengaja merendahkan martabat mereka sendiri.
“Mungkin, lewat merendahkan diri itulah mereka menemukan keberanian untuk menunjukkan taring dan melawan dunia.”
Soku hanya diam mendengar jawaban Shikamaru. Dia memalingkan wajahnya yang terlihat muak.
“Keinginan untuk balas dendam muncul dari kebencian kita terhadap musuh. Dan kebencian adalah sesuatu yang tidak akan pernah bisa lahir dalam diri seseorang tanpa adanya konflik yang memicunya.” lanjut Shikamaru.
“Bila seperti itu, apa menurut tuan Shikamaru orang-orang negeri ini memiliki kebencian terhadap negara-negara lain?” Rou bertanya.
“Kau tahu? Itu benar-benar menggelikan.” Lagi-lagi Soku menyela, kali ini dia tidak lupa mengucapkan ‘kau tahu’. “Semua Kakusha yang katanya berkuasa di negeri ini adalah para mantan Shinobi dari negara-negara lain, benar kan?”
Kata-kata Soku ada benarnya. Pada kenyataannya, lewat penyelidikan dan interogasi yang sejauh ini mereka lakukan, ditemukan fakta bahwa memang seluruh Kakusha yang berkuasa di negeri ini adalah orang-orang yang dulunya merupakan Shinobi dari negara-negara lain. Beberapa dari mereka hilang dalam perang besar, sementara sisanya adalah mereka yang masuk daftar Nukenin dalam setahun terakhir. Dan mereka semua adalah bawahan yang setia pada Gengo.
Mereka juga mendapat informasi bahwa negeri ini memang pernah dipimpin oleh seorang Daimyo. Dan dapat ditebak, pihak yang menggulingkan Daimyo, mengangkat para Kakusha, serta mengubah Shijima no Kuni hingga ke akar-akarnya, tak lain adalah seorang bernama Gengo.
Apapun itu, harus diakui bahwa saat ini Shijima no Kuni adalah sebuah negara yang dikuasai oleh para Shinobi.
--- H S M ---
“Bila mereka membenci negara-negara lain... Itu artinya, mereka juga membenci desa yang pernah menjadi rumah mereka masing-masing. Kau tahu? Itu mustahil...” lanjut Soku.
Soku sepertinya masih asing dengan pengkhianatan seorang Shinobi pada desa kelahirannya.
“Banyak juga Shinobi yang seperti itu.” ujar Shikamaru, suaranya terdengar tenang. “Kelompok kriminal yang menyebabkan perang besar terakhir ―Akatsuki, sebagian besar beranggotakan para Nukenin yang mengkhianati desa mereka masing-masing. Mereka adalah orang-orang dengan kemampuan mengerikan, serta memiliki kebencian yang luar biasa terhadap dunia Shinobi.”
Ketika seseorang terjebak dalam sebuah situasi yang sangat buruk, kegelapan akan mulai menyelimuti. Bukanlah sebuah hal yang aneh apabila semua kebencian dan kemarahan itu mampu membuat seseorang memberontak pada negaranya sendiri. Seseorang akan menyalahkan desanya atas segala penderitaan dan ketidakberuntungan yang dia alami. Dia akan menyalahkan struktur desa dan negaranya yang cacat, lebih dari itu... dia akan menyalahkan seluruh dunia.
Dari pemikiran semacam itulah, akhirnya terlahir orang-orang seperti para anggota Akatsuki dan para Kakusha, ‘mereka yang tercerahkan’.
“Tapi, katakanlah itu benar...” Ujar Rou, sementara Shikamaru dan Soku diam memperhatikan. “Katakanlah memang benar bahwa para Kakusha merasa kecewa terhadap keadaan dunia Shinobi saat ini, dan mereka datang ke negeri ini atas dasar kekecewaan itu... Lalu apa artinya? Bukankah apa yang mereka lakukan di sini juga tidak ada bedanya dengan apa yang selama ini terjadi di dunia Shinobi?”
Rou benar. Berdasarkan informasi yang berhasil mereka dapatkan, diketahui bahwa Shijima no Kuni menawarkan jasa kurir serta rute khusus bagi urusan perniagaan. Mereka bahkan juga menerima permintaan misi dari berbagai wilayah, sesuatu yang lazimnya dilakukan oleh negara-negara dan desa Shinobi. Namun yang lebih menarik adalah, tarif dasar yang mereka kenakan atas jasa-jasa tersebut jauh lebih murah dari apa yang dapat ditawarkan oleh Serikat Shinobi.
Lima negara besar sangat mengutamakan kredibiltas pelayanan mereka, namun seperti dikatakan banyak orang, kualitas menentukan harga. Kehandalan mereka dalam menjalankan misi juga berimbas pada besarnya tarif yang mereka kenakan atas setiap jasanya. Dalam keadaan seperti itu, kehadiran Shijima no Kuni benar-benar menjadi sebuah alternatif bagi negara-negara kecil yang tidak memiliki cukup biaya untuk berurusan dengan Serikat Shinobi.
Pantas saja permintaan misi yang diterima Serikat Shinobi semakin surut dari hari ke hari.
Itulah maksud perkataan Rou. Bagaimana mungkin, orang-orang yang muak terhadap dunia Shinobi dan mengkhianati desa mereka atas alasan itu, mau datang jauh-jauh ke Shijima no Kuni, hanya untuk melakukan apa yang sebelumnya juga mereka lakukan sebagai seorang Shinobi.
Dari sisi manapun, itu benar-benar tidak masuk akal.
“Revolusi yang sebenarnya...” Gumam Soku tiba-tiba.
Ketika Shikamaru dan Rou mengalihkan pandangan mereka pada Soku, gadis itu terlihat salah tingkah.
“I-itu yang dikatakan orang itu, si Minoichi... ‘tujuan kami adalah mengobarkan api revolusi yang sebenarnya di dunia ini, dan kami akan melangkah maju bersama tuan Gengo...’ bla bla bla... dan seterusnya, dan seterusnya...” ujar Soku.
“Jadi menurutmu, apa yang mereka lakukan itu hanyalah bagian dari rencana untuk mencapai tujuan mereka yang sebenarnya, yaitu revolusi. Benar begitu?” tanya Shikamaru.
Soku mengangguk.
“Hmm, bagaimanapun... Gengo adalah sebuah ancaman yang harus segera dibinasakan.” gumam Rou.
“Itu benar. Dan kau tahu? Kita diberkati dengan kesempatan yang sangat bagus.” ujar Soku, sembari menunjuk gambar alun-alun di depan istana.
“Alun-alun ini pasti digunakan sebagai tempat pidato... Benar-benar panggung yang sempurna untuk sebuah pembunuhan diam-diam bukan?” Rou tertawa, dia melihat Shikamaru dengan roman wajah yang terlihat bersemangat.
Rou. Orang yang biasanya begitu sederhana dan rendah hati itu, saat ini bicara tentang sebuah rencana pembunuhan dengan senyum mengembang di wajahnya. Shikamaru seakan tersadar, bahwa jauh di dalam dirinya, Rou tetaplah seorang ANBU.
“Jadi kesimpulannya... Rou, kau akan menggunakan kemampuanmu untuk membuat kita berbaur dalam keramaian di alun-alun. Lalu, begitu berada dalam jangkauan, aku akan menggunakan bayanganku untuk mencapai Gengo dan membelenggunya. Dan Soku. Kau akan kutempatkan di atap bangunan terdekat yang memberimu pandangan jelas ke arah alun-alun. Begitu target terbelenggu, kau akan menyelesaikannya dengan jarum chakramu. Mengerti?” jelas Shikamaru.
Dua orang ANBU itu mengangguk tanda paham. Aura dingin mereka begitu terasa, seakan sudah tidak sabar untuk segera memulai rencana pembunuhan ini.
“Kami sangat mengandalkanmu, Hinoko.” ujar Shikamaru, entah sengaja atau tidak.
“Heeehhh! Sudah berapa kali kubilang jangan panggil aku dengan nama itu!” Soku berdiri, lagi-lagi dia terlihat kesal.
“Ehhmm... empat puluh kali.” bisik Rou.
“Haah?” Soku balik menatap Rou, seniornya di ANBU itu.
“Nama tuan Shikamaru di dalamnya memiliki kata ‘Shi’ yang artinya ‘empat’, dan ‘Maru’ yang artinya ‘kosong’... jadi ya, empat puluh.” jelas Rou, dengan wajah polosnya yang seakan tanpa dosa itu.
Soku terlihat semakin kesal mendengarnya.
“Lagi-lagi lawakan tidak bermutu!! Kenapa tidak sekalian ‘Ka’ yang kau artikan?!” geram Soku, dia melangkah maju ke arah Rou.
Rou segera berdiri dan bersembunyi di balik Shikamaru, menghindar dari amukan seorang gadis kecil berusia 14 tahun. Padahal kalau dipikir-pikir, selain jauh lebih tua, Rou juga bertubuh lebih besar dari juniornya itu.
Tentu saja, Rou bertingkah seperti itu hanya sebagai lawakan. Yah, mau bagaimana lagi, memang itu hobinya.
Namun tetap saja, Shikamaru merasa agak aneh melihat perilaku mereka berdua.
“Apa iya besok akan baik-baik saja...” Shikamaru menerawang, menghela nafas panjang.
Kedua ANBU itu seketika berhenti bertengkar, tergores senyum di wajah mereka.
“Kau tahu? Semua akan baik-baik saja.”
“Benar... tidak ada yang perlu Anda khawatirkan, tuan Shikamaru.”
Shikamaru bergeming, memandangi mereka berdua.
Helaan nafas panjang kembali keluar darinya.
--- Bersambung ke Novel Shikamaru Hiden Chapter 10 ---
Kembali Ke daftar Isi
Klik
Sumber DNI.
No comments:
Post a Comment