Tuesday, 26 May 2015

NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 12

NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 12

--- Penulis: Takashi Yano ---
--- Ilustrasi: Masashi Kishimoto ---
--- English Translation: Cacatua Tumblr ---
--- Indonesian Translation: Ayudhya Prameswari #DNI ---

--- H S M ---

―Balairung yang sangat megah, bahkan jauh lebih megah dari kediaman seorang Hokage di Konoha sekalipun.

Lantai ruangan besar tersebut dihiasi oleh bentangan permadani berwarna merah darah yang tergelar dari luar hingga masuk ke dalam, melewati dua buah pintu besar yang juga tak kalah mewahnya. Dan di atas hamparan indah itulah, Shikamaru tertunduk.

Kedua tangan Shikamaru terikat di belakang punggung. Sementara terlihat dua orang Kakusha berdiri di kedua sisinya, berjaga kalau-kalau dia berniat macam-macam. Bagaimanapun, para Kakusha adalah mantan Shinobi, kewaspadaan mereka masih belum luntur sedikitpun.

Rou dan Soku berada tepat di belakang Shikamaru. Nasib mereka juga sama saja, sepasang tangan terikat dan dijaga oleh dua orang Kakusha. Namun berbeda dengan Shikamaru, baik wajah Rou maupun Soku dihiasi barisan luka lebam dan bekas sayatan. Seakan tergambar dengan jelas, siksaan macam apa yang telah mereka lalui beberapa hari belakangan ini.

Bila perhitungan Shikamaru tepat, ini adalah hari kesepuluh sejak mereka menjadi tawanan. Dan selama sepuluh hari tersebut, tak sekalipun Shikamaru mengalami siksaan.

Gengo memang beberapa kali sempat datang menemuinya, namun dia hanya bicara sepatah dua-patah kata, lalu pergi. Semua yang dikatakannya juga hanyalah omong kosong. Basa-basi tanpa makna seperti ‘bisakah aku bicara padamu sekarang?’ atau ‘apa makan siang yang kau inginkan?’, dan hal-hal semacamnya.

“Tundukkan kepalamu!” Perintah seorang Kakusha yang berada di sebelah kanan Shikamaru, sembari mendorong kepala tawanannya itu ke arah lantai, memaksanya bersujud.

“Jangan seperti itu... mereka adalah tamu kehormatan, kita harus memperlakukan mereka dengan baik.” Suara Gengo tiba-tiba terdengar dari arah depan Shikamaru.

Begitu mendengar kata-kata pemimpinnya, Kakusha tersebut segera melepaskan kepala Shikamaru dan kembali siaga di posisinya semula. Wajahnya terlihat agak gugup.

“Anak buahku agak kasar, tolong maafkan mereka.” ujar Gengo. “Angkat kepalamu.”

Shikamaru sudah lebih dulu mengangkat wajahnya bahkan sebelum ‘diperintahkan’ oleh Gengo. Pandangannya tajam tertuju ke arah depan.

Tepat di ujung bentangan permadani indah di lantai balairung, terdapat barisan anak tangga yang terbuat dari batu pualam. Tangga tersebut menuju sebuah singgasana yang dihiasi oleh pahatan sepasang naga di kedua sisinya, terlihat begitu megah.

Gengo duduk di atas singgasana tersebut layaknya seorang kaisar agung. Kakinya berjigang, menumpangkan yang satu di atas yang lain. Dia bertopang dagu dengan tangan kirinya, sementara sikunya bersandar di atas pinggiran singgasana. Aura pemimpin besar sebuah negara benar-benar terasa darinya.

“Bawa mereka mendekat.” ujar Gengo.

Para Kakusha segera melaksanakan perintahnya, mereka menyeret Shikamaru, Rou, dan Soku mendekat ke arah Gengo. Mereka berhenti tepat di ujung permadani, tempat anak tangga menuju singgasana Gengo berawal.

“Apa sekarang kau sudah berubah pikiran?” tanya Gengo. “Apa sekarang kau ingin tahu apa maksud semua kata-kata ku?”

“Maafkan aku, tapi jujur, aku sama sekali tidak tertarik.” ujar Shikamaru.

Gengo hanya tertawa kecil mendengar jawaban Shikamaru.

Terlihat beberapa Kakusha berjejer rapi di samping kanan dan kiri singgasana Gengo, sepertinya mereka lebih istimewa dari para Kakusha yang lain. Shikamaru yakin, mereka adalah para penasehat atau pengawal pribadi Gengo. Sai juga berada di antara mereka.

Meski mereka adalah teman, atau setidaknya, pernah menjadi teman, pandangan Sai terhadap Shikamaru benar-benar dingin. Dari dulu Sai memang jarang menunjukkan ekspresi yang berlebihan, namun ini jelas berbeda. Tatapan matanya terasa jauh lebih kosong, lebih datar dari biasanya.

“Oh, ayolah... Kalau benar kau secerdas reputasimu, aku rasa kau sudah paham apa sebenarnya yang kuinginkan darimu.” ujar Gengo.

Tentu saja. Shikamaru paham benar apa yang diinginkan Gengo darinya, bahkan dia sudah mengetahuinya sejak sangat awal. Tapi itu adalah sesuatu yang tidak mungkin, dan tidak ingin Shikamaru wujudkan. Oleh karenanya, dia memilih diam.

“Jadilah tangan kananku, Nara Shikamaru.” ujar Gengo. “Bersama-sama kita akan mewujudkan dunia yang baru. Aku yakin, kau adalah orang yang mampu melakukannya.”

“Lupakan saja.” jawab Shikamaru singkat. Sorot matanya menatap tajam ke arah Gengo. Begitu tajam, seakan-akan Shikamaru ingin membunuh Gengo saat itu juga.

Tapi pemimpin Shijima no Kuni itu tak sedikitpun gentar, lebih tepatnya, dia tak peduli. Gengo membalas sorot mata penuh amarah Shikamaru dengan tatapannya yang terlihat tenang, namun sangat mengancam.

“Bagus, Shikamaru. Orang lain pasti akan langsung menerima tawaranku tanpa pikir panjang, tapi tidak dirimu. Dan aku tahu, itu yang membuatmu berbeda.” ujar Gengo.

“Kau benar-benar membuatku muak dengan semua omong kosongmu. Kau bicara seolah- olah kau tahu segalanya. Memangnya kau tahu apa tentang aku!” ujar Shikamaru. Nada suaranya meninggi, sepertinya dia benar-benar sedang marah.

Ah tidak, Shikamaru bukan orang yang gampang terbakar emosi. Dia hanya berpura-pura bersikap seperti itu untuk melihat reaksi Gengo selanjutnya.

“Mengerti orang lain sepenuhnya ya... Hal yang sungguh mustahil.” ujar Gengo. “Itulah kenapa aku berusaha bicara denganmu, aku ingin lebih mengerti tentang dirimu.”

“Aku ini sudah hidup lebih lama darimu, Shikamaru. Karena itulah... Aku sedikit banyak bisa membaca emosi anak muda sepertimu. Bila menurutmu tingkah ku ini arogan, aku benar-benar minta maaf.” lanjutnya.

“Heh, kau lihat kan? Bicaramu yang seperti barusan itulah yang membuatku muak.” timpal Shikamaru ketus.

“Begitu ya...” Gengo menutup kedua matanya, lalu tertawa.

Usai tawanya, suasana hening sejenak. Pandangan mata Gengo menerawang ke seluruh sudut balairung, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu.

Sekilas, Gengo terlihat seperti orang yang sengaja menghentikan sejenak percakapan untuk memikirkan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

Namun, kenyataannya berbeda. Gengo paham benar, bila dia melanjutkan pembicaraan dalam keadaan seperti ini, maka situasi tidak akan berada dipihaknya. Shikamaru sedang dalam keadaan emosi, bila Gengo terus bicara, bisa-bisa dia akan semakin marah hingga tak lagi mau mendengar apapun darinya.

Karena itulah, Gengo sengaja diam sejenak, menunggu suasana sedikit lebih dingin.

Menciptakan jeda bagi kedua pihak untuk mengambil nafas dan menenangkan diri adalah langkah yang tepat dalam sebuah pembicaraan seperti ini. Bilapun Shikamaru tetap meluapkan kemarahannya, tanpa ada reaksi dari Gengo, itu justru akan membuat amarahnya berkurang sedikit demi sedikit.

Gengo mengarahkan pembicaraan ini sesuai keinginannya.

Dia benar-benar seseorang yang ahli dalam negosiasi.

--- H S M ---

Setelah beberapa saat teralihkan, akhirnya pandangan Gengo kembali ke arah Shikamaru.

“Aku punya sebuah pertanyaan untukmu, Nara Shikamaru. Maukah kau menjawabnya?”

“Apa?” Shikamaru sepertinya menyesal menanggapi pertanyaan Gengo, tapi sudah terlambat untuk menariknya kembali.

“Kenapa para Shinobi begitu tertindas?”

Tertindas? Shinobi? Shikamaru sama sekali tidak paham apa maksud pertanyaan Gengo. Dia terdiam, namun diamnya itu justru seakan memberi isyarat bagi Gengo untuk melanjutkan kata-katanya.

“Desa-desa tempat para Shinobi tinggal selalu disebut sebagai ‘desa tersembunyi’. Apa para Shinobi harus selalu bersembunyi?”

“Di semua negara, entah kecil atau besar. Seberapa banyak wilayah yang dikuasai oleh para Shinobi? Tanah yang dapat mereka sebut sebagai ibu pertiwi? Sangat sedikit, Shikamaru... sangat sedikit. Kita adalah minoritas.”

“Kau tahu mengapa itu bisa terjadi, Shikamaru? Benar sekali, itu karena ada pihak lain yang menguasai mayoritas. Yaitu para Daimyo.” tutup Gengo.

Apa yang dikatakan Gengo tidak keliru. Desa-desa para Shinobi memang memiliki gelar ‘desa tersembunyi’ disamping nama mereka masing-masing. Dan benar, sebagian besar wilayah memang dikuasai oleh para Daimyo.

―Lalu, memangnya kenapa?

Para Daimyo menjalankan pemerintahan negara, sementara para Shinobi tinggal di ‘desa tersembunyi’ mereka masing-masing. Itu sama sekali tidak membuat para Shinobi merasa ditindas.

Shikamaru merupakan salah satu tulang punggung Serikat Shinobi, wajar bila dia mengetahui keadaan politik dunia lebih dari kebanyakan orang. Daimyo, dan seluruh rakyat negara yang dipimpinnya, dapat hidup berdampingan dengan para Shinobi dalam sebuah hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan.

―Lalu apanya yang tertindas? omong kosong.

Itulah yang ada di benak Shikamaru saat ini.

“Pikirkanlah, Shikamaru. Mengapa Daimyo-Daimyo itu menindas para Shinobi?” tanya Gengo lagi.

“Memangnya sejak kapan kami ditindas oleh para Daimyo? Shinobi tidak pernah merasa tertindas sedikitpun.” jawab Shikamaru, ketus.

Gengo hanya tersenyum mendengarnya. Namun tak lama, raut wajahnya berubah serius.

“Ini bukan hanya soal Daimyo. Kita para Shinobi telah ditindas oleh semua orang... Semua orang yang bukan Shinobi.” ujar Gengo. “Aku akan bertanya padamu sekali lagi...”

“Kau bilang kau hanya akan bertanya satu―”

“Aku akan tanya lagi.” potong Gengo, suaranya terdengar meninggi. “Shinobi memiliki kekuatan yang membedakan kita dari manusia biasa, apa kau setuju akan hal itu?”

Lagi-lagi, apa yang dikatakan Gengo bukanlah sesuatu yang keliru.

Olah chakra dan Ninjutsu. Tidak bisa dipungkiri kedua hal itu adalah pembeda jelas antara para Shinobi dengan manusia biasa.

Kali ini Shikamaru mengangguk, dia tak bisa mengelak dari fakta tersebut.

Melihat reaksi Shikamaru, Gengo melanjutkan kata-katanya.

“Berarti kau juga setuju bahwa kekuatan para Shinobi telah melampaui batasan-batasan yang dimiliki oleh seorang manusia?”

Shikamaru lagi-lagi mengangguk. Karena memang apa yang dikatakan Gengo itu benar adanya.

--- H S M ---

Perang besar yang terjadi dua tahun silam adalah sebuah pertempuran yang menentukan nasib seluruh dunia. Bila saja waktu itu aliansi para Shinobi kalah, maka entah Shikamaru maupun Gengo tak akan bisa leluasa bicara seperti saat ini.

Dan baik Uchiha Madara, seseorang yang berusaha menyeret umat manusia ke dalam dunia mimpi, maupun Naruto Uzumaki, seseorang yang berusaha mewujudkan perdamaian dengan menghentikan perang, keduanya sudah tidak lagi bisa disebut manusia. Seiring waktu berjalan, Shinobi seakan telah melepaskan sisi ‘manusia’ mereka sedikit demi sedikit.

“Kenapa kita para Shinobi yang telah melampaui batasan seorang manusia, harus terus dipaksa untuk hidup bersembunyi? Kenapa mereka harus menjalani kehidupan yang semacam itu?”

“Kenapa kita dipaksa bekerja menjadi suruhan para Daimyo? Padahal, dalam perang besar dua tahun silam, siapa yang menyelamatkan dunia dari kehancurannya? Jelas bukan mereka.”

Suara Gengo semakin keras, seakan menyudutkan Shikamaru dari segala arah.

“Bukan mereka... Tapi kita, para Shinobi lah yang telah menyelamatkan dunia ini.”

―Apa ini... Sebenarnya apa yang kurasakan ini...

Suara Gengo membuat jantung Shikamaru berdegup tak menentu.

Shikamaru merasakan sesuatu yang belum pernah dirasakannya seumur hidup. Sensasi aneh yang sulit untuk dijelaskan. Entah kenapa, hatinya terasa sangat bersemangat.

―Kenapa aku merasa seperti ini? Mungkinkah...

Mungkinkah itu karena Gengo berhasil menarik keluar pikiran yang selama ini tersembunyi di relung hati Shikamaru yang paling dalam? Sebuah pemikiran berbahaya yang berusaha keras Shikamaru tekan, bahkan hilangkan.

Gengo benar...

Dua tahun silam, para Shinobi adalah penyelamat dunia.

“Shinobi yang tak terhitung jumlahnya telah merelakan nyawanya terenggut demi melindungi dunia ini. Tapi seberapa banyak orang yang tahu akan hal itu?”

“Uzumaki Naruto... seseorang yang dikagumi oleh para Shinobi di seluruh dunia sebagai pahlawan besar yang mengakhiri perang. Tapi seberapa banyak rakyat Daimyo yang mengenalnya?

“Sangat sedikit, Shikamaru... Sangat sangat sedikit.”

“Belum lagi tokoh-tokoh seperti Uchiha Madara, Uchiha Obito, Uchiha Sasuke, Hatake Kakashi, kelima Kage, Akatsuki, semuanya... Bukankah sebuah fakta yang menyakitkan, bahwa selain para Shinobi, sangat sedikit orang yang mengenal mereka. Alih-alih menghargai apa yang telah mereka korbankan demi dunia ini.”

Itulah yang coba disampaikan Gengo. Tak peduli seberapa banyak pengorbanan yang dilakukan oleh para Shinobi untuk melindungi dunia, orang-orang yang hidup di luar lingkungan Shinobi tak akan pernah mengetahuinya.

“Masa-masa damai sekarang ini dibangun di atas tumpukan jenazah para Shinobi. Meskipun begitu, para Daimyo duduk di atas kekuasaannya tanpa ada keraguan sedikitpun. Sama halnya para penduduk yang melanjutkan hidup mereka seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Pengorbanan kita tak terlintas sedikitpun di pikiran mereka.”

“Padahal, demi bajingan-bajingan itulah kita maju ke medan perang. Para Shinobi dengan suka rela menjadi perisai hidup bagi orang-orang sialan itu. Tapi apa balasannya? Sama sekali tidak ada.”

Tidak ada yang berubah.

Shikamaru mendengar kata-kata Gengo dengan seksama. Dia merasa, apa yang dibicarakan Gengo tersebut merupakan sesuatu yang tidak masuk akal.

Pihak musuh, yaitu Uchiha Madara dan sang dewi, Kaguya Ootsutsuki, berniat menyeret seluruh makhluk hidup ke dalam dunia mimpi, sehingga mereka dapat menyerap chakra mereka semua hingga kering.

Tujuan mereka nyaris tercapai. Tepat dipuncak perang, sebuah Genjutsu yang skalanya luar biasa besar berhasil diaktifkan. Sebagai akibatnya, hampir seluruh umat manusia terlelap dalam tidur panjang, termasuk para Daimyo dan rakyatnya.

Tapi tetap saja...

Pertempuran telah berlangsung beberapa hari sebelum Genjutsu tersebut aktif, para Daimyo dan rakyatnya tahu pasti akan hal itu. Namun setelah perang usai, tak ada lagi yang membicarakannya. Membicarakan perjuangan heroik para Shinobi. Membicarakan pengorbanan mereka yang telah gugur.

Mereka seakan tak mau melakukannya. Atau mereka tak peduli? Entahlah.

“Mengapa para Shinobi harus terus hidup dalam bayangan?” Gengo berdiri dari singgasananya. “Apakah ini benar-benar yang terbaik bagi kita?”

Dia perlahan berjalan menuruni anak tangga di depannya. Pandangannya masih tertuju pada Shikamaru.

“Shikamaru... Yang sebenarnya ingin aku tanyakan kepadamu adalah...”

Gengo menapaki anak tangga terakhirnya, lalu melangkah lurus ke arah Shikamaru.

“Bukankah akan lebih baik, bila kita... para Shinobi lah yang memimpin dunia ini?”

―’Kau salah!’

Biasanya Shikamaru akan langsung meneriakkan kata-kata itu, tapi entah kenapa, saat ini dia tak bisa melakukannya. Dia sama sekali tak mampu menjawab pertanyaan Gengo.

Shikamaru tak lagi tahu mana yang benar, dan mana yang salah. Keraguan mulai merasukinya.

―Kita adalah Shinobi, karena kita bertahan demi suatu tujuan.

Tak peduli seberapa hebat seorang Shinobi, dia harus menjalankan segala tanggung jawabnya secara diam-diam, bergerak di dalam gelapnya bayangan. Itulah inti dari seorang Shinobi sejati.

Namun...

Potensi tak terbatas terkandung dalam chakra dan Ninjutsu yang digunakan oleh para Shinobi. Bila Shinobi benar-benar mengambil alih kendali dari para Daimyo, bila mereka memerintah negara-negara seperti yang dikatakan Gengo, bukankah dunia akan jauh lebih berkembang?

Yang manakah yang lebih baik?

Shikamaru tak mampu memberi jawaban.

“Dengan kekuatan yang dimiliki oleh para Shinobi, aku akan mengangkat derajat negeri ini.” ujar Gengo. “Aku akan mengakhiri era para Daimyo. Ya... dengan kekuatan para Shinobi, itu semua mungkin terjadi!”

Membunuh orang ini, Gengo...

Apa ini benar-benar jalan yang terbaik?

Apa ini perlu dilakukan?

Shikamaru tak lagi yakin...

--- Bersambung ke Novel Shikamaru Hiden Chapter 13 ---

Kembali Ke Daftar Isi
Klik


Sumber DNI.

No comments:

Post a Comment