Friday, 22 May 2015

NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 08

NOVEL SHIKAMARU HIDEN BAHASA INDONESIA - CHAPTER 08

--- Penulis: Takashi Yano ---
--- Ilustrasi: Masashi Kishimoto ---

--- H S M ---

―Shijima no Kuni.
Setelah berlari selama genap tiga hari tiga malam, regu pimpinan Shikamaru akhirnya mencapai tujuan mereka, Shijima no Kuni.

Shijima no Kuni merupakan sebuah negeri yang tak terlalu besar, terletak di ujung paling barat benua. Sebagian besar wilayahnya terdiri dari pegunungan dan bentangan hutan, sementara sisanya adalah dataran rendah yang dihiasi oleh beberapa kota kecil. Tak ada satupun kota di dataran tersebut yang ukurannya sebesar desa-desa di Hi no Kuni. Shijima no Kuni akan terasa seperti wilayah pedesaan masa lampau bagi siapapun yang pertama kali menginjakkan kakinya di sini.

Pusat pemerintahan negeri ini berada di ibu kota mereka, desa Tirai. Sebuah kota kecil yang terletak tepat di tengah-tengah negeri. Shikamaru dan regunya harus menyelinap melewati perbatasan tanpa terdeteksi, sehingga rute yang mereka lalui bukanlah rute biasa. Mereka harus rela keluar masuk hutan, menembus barisan bukit, dan menyusuri lembah. Tepat hari keempat sejak melangkah keluar dari gerbang Konoha, mereka akhirnya tiba di desa Tirai.

Meski Shijima no Kuni adalah negeri yang tergolong miskin, kemegahan ala kota besar masih dapat dilihat di ibu kota mereka. Di saat sebagian besar rumah di wilayah lain negeri ini masih beratapkan jerami, di desa Tirai, bahkan rumah paling sederhana sekalipun telah memiliki atap berlapiskan genting. Banyak pula bangunan yang terbuat dari beton, sementara jalanan mereka terlihat bersih dan tertata dengan baik.

Rangkaian jalan menyebar ke seluruh wilayah desa, membentuk pola menyerupai jalinan jaring laba-laba. Pola tersebut bergerak melingkar, menjadikan pusat desa sebagai pangkalnya. Di sepanjang sisi jalan itulah, banyak berdiri apartemen-apartemen serta barisan rumah yang tertata rapi, terlihat sangat teratur.

Yang paling mencolok dari tata kota desa Tirai ini adalah sebuah gedung besar yang berdiri tepat di pusat desa. Bila dipandang dari kejauhan, gedung ini terlihat menjulang tinggi melebihi bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Tingginya sekitar 10 lantai, dengan atap yang berwarna merah keunguan, sementara kedua sisinya berhiaskan sepasang patung singa yang terbuat dari emas. Sangat megah ―untuk ukuran sebuah desa kecil.

“Aha, itu pasti istana yang kita cari.”

“Kau tahu? Tidak usah sok pintar, itu kan sudah jelas.”

Shikamaru mengamati bangunan megah tersebut dengan seksama, tentu saja sembari menguping percakapan antara Rou dan Soku. Saat ini mereka sedang berjalan di jalanan utama desa. Pakaian mereka telah berganti, tak lagi mengenakan seragam ANBU dan rompi Konoha.

Setiap negara memiliki budaya dan tradisi yang berbeda satu sama lain, termasuk pula dalam hal cara berpakaian. Oleh sebab itulah, Rou dan Soku menyarankan agar mereka menggunakan pakaian penduduk setempat, supaya tak terlihat mencolok selama melakukan penyusupan. Shikamaru hanya menurut, karena bagaimanapun mereka berdua adalah ANBU yang lebih senior darinya, sekaligus memiliki segudang pengalaman menjalankan misi semacam ini.

Dalam perjalanan menuju desa Tirai, mereka bertiga sempat berhenti di rumah orang kaya setempat, dari sana lah mereka mendapatkan pakaian-pakaian tersebut. Bisa jadi mereka membeli, meminta, atau mungkin juga... mencuri, entahlah.

Busana yang dikenakan orang-orang Shijima no Kuni sangatlah sederhana, tanpa pola apapun yang khas. Tubuh bagian atas terbalut jubah sederhana yang terbuat dari kain ―disebut Uwagi, kemudian diikat dengan Obi, untaian ikat pinggang yang juga terbuat dari kain.

Sementara dari pinggang ke bawah, para penduduk Shijima no Kuni mengenakan celana yang lumayan lebar ―Hakama. Bagian bawah Hakama mereka dimasukkan ke dalam sepasang sepatu bertali yang membungkus kaki mereka hingga setinggi betis. Melihat mereka berlalu-lalang benar-benar serasa kembali ke era lampau.

Warna pakaian mereka pun sama hambarnya dengan cara mereka berbusana. Hampir semua orang di desa Tirai mengenakan pakaian berwarna suram, entah itu hitam, cokelat tua, atau abu-abu gelap. Bahkan di sepanjang jalanan utama ini, tak ada satupun toko yang memiliki lampu penerangan yang memadai, alih-alih papan iklan yang berpendar cahaya neon. Semua tampak suram, membosankan.

Ya, suram. Seakan tak ada satupun hal cerah yang dapat ditemukan di desa ini.

“Apa anda menyadarinya, tuan Shikamaru?” Tanya Rou yang berjalan paling depan.

Shikamaru sendiri berada di tengah-tengah, Rou berjaga di depan, sementara Soku mengawasi dari belakang. Posisi seperti ini juga atas saran dari mereka berdua.

Pertanyaan Rou sangat bias. Dia tak menyebutkan secara pasti apa hal yang seharusnya Shikamaru sadari.

“Kita sama sekali belum melihat satupun pengawal Daimyo.” ujar Rou lagi, kali ini lebih rinci.

“Oh, itu. Ya, kau benar.” Shikamaru sepertinya sependapat dengannya.

Sembari berbincang, mereka berjalan menuju ke arah istana. Tidak ada maksud untuk melaksanakan pembunuhan itu sekarang, mereka hanya mengikuti arus orang-orang di sekitar yang juga berjalan menuju bangunan megah tersebut. Shikamaru sama sekali tak ingin bertindak buru-buru dan gegabah, dia tak ingin mempertaruhkan keberhasilan misi sepenting ini. Semua harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan penuh perhitungan.

“Sejauh ini, semua orang yang kita temui di jalan hanyalah penduduk biasa, kita belum melihat ada satupun pengawal atau pembantu Daimyo. Ini aneh sekali.”

Pengamatan Rou sepertinya memang benar, ada yang tidak beres di negeri ini.

Seakan seperti telah menjadi sebuah ketentuan umum, penguasa daerah atau pimpinan sebuah negara hampir selalu adalah seorang Daimyo. Memang, persatuan dunia Shinobi telah berkembang sangat pesat, namun para Shinobi tidak pernah, dan tidak akan pernah mampu mengambil peran utama dalam urusan politik. Itu adalah bagian Daimyo.

Para Daimyo berdiam di ibu kota negara mereka masing-masing, dan tempat tinggal mereka hampir pasti selalu dijaga ketat oleh ratusan atau bahkan ribuan pengawal kerajaan selama dua puluh empat jam tanpa jeda. Tempat itu pastinya juga dipenuhi oleh para bawahan yang bertugas melayani sang penguasa daerah setiap saat.

Para pengawal dan bawahan Daimyo tersebut seringkali memandang dirinya sendiri berada di atas penduduk biasa. Terlihat jelas dari cara mereka berpakaian yang sangat mencolok, dan tentunya perilaku serta cara bicara mereka yang terkesan arogan. Keseharian mereka lebih sering dihabiskan di ibu kota tempat Daimyo tinggal, hanya pergi ke luar wilayah bila memang diperintahkan.

Namun tetap saja, Shikamaru dan regunya sama sekali belum menemui satupun dari para pengawal dan bawahan Daimyo tersebut di Shijima no Kuni.

--- H S M ---

“Kau tahu? Mungkin negeri ini memang tidak punya Daimyo.” Ujar Soku.

Kata-kata Soku juga ada benarnya. Terkadang, beberapa negara kecil sengaja mencitrakan dirinya sendiri seakan-akan mereka memiliki seorang penguasa, padahal sebenarnya para penduduk negara tersebut menangani urusan daerah mereka secara swadaya, tanpa bergantung pada sosok sentral semacam Daimyo.

Mungkin Shijima no Kuni adalah salah satu yang seperti itu. Tapi entah kenapa, Shikamaru merasa sangat tidak yakin akan hal tersebut.

Shikamaru berbalik, matanya menerawang ke arah istana tersebut yang saat ini telah mereka lewati.

“Surat Sai dengan jelas mengatakan bahwa negeri ini berada di bawah kendali seseorang bernama Gengo.” ujar Shikamaru.

“Kau tahu? Itu benar, tapi bisa jadi dia bukan seorang Daimyo.” Soku menambahkan.

“Yah, mungkin kau benar.” ujar Shikamaru. Bersamaan dengan itu, pandangan matanya seketika beralih pada sosok seorang pria yang berjalan melewati mereka.

Pria itu mengenakan jubah hitam panjang, tatapan matanya sangat tajam. Cara dia berpakaian terlihat sedikit lebih mencolok dibandingkan orang-orang di sekitarnya.

Desain jubah pria itu mengingatkan Shikamaru pada jubah Akatsuki. Meski sebenarnya, jubahnya tak memiliki lukisan awan merah, atau kerah tinggi khas organisasi kriminal itu. Jubah tersebut juga tak memiliki resleting atau lapisan penguat apapun, hanya ada lima buah kancing baju yang terbuat dari perak. Ukurannya cukup besar, berbaris rapi di bagian tengah jubah, urut dari atas ke bawah.

“Kalian lihat pria yang di sana itu... Kita sudah bertemu beberapa orang yang berpakaian sama dengannya. Apa tidak mengingatkanmu akan sesuatu?” tanya Shikamaru.

“Saya juga menyadarinya, tuan Shikamaru.” jawab Rou.

“Kau tahu? Biasanya orang akan melihat lebih jelas dulu baru setuju tentang sesuatu.” Soku mengomentari Rou yang langsung menjawab pertanyaan Shikamaru dengan sangat yakin, padahal dia sedang melihat ke arah lain.

“Uhmm... Pakaian itu, pakaian itu benar-benar membuat mereka jadi sasaran empuk.” Rou kembali mengeluarkan lawakan kurang bermutu nya.

“Kau tahu? Lebih baik kau ini diam saja.” Soku mengomel.

Tak menggubris kelakar mereka berdua, Shikamaru kembali bertanya.

“Rou, bagaimana dengan pria di seberang jalan itu, apa dia terlihat tidak asing bagimu?” Tanya Shikamaru, sembari memandang sebuah kedai teh di seberang jalanan yang ramai.

Rou menoleh, mengikuti arah pandangan Shikamaru. Matanya memicing, mencoba melihat lebih jelas.

“I-Itu... Ini tidak mungkin...”

“Ehh, ada apa sih ini... Kau tahu? Aku sama sekali tidak paham apa yang kalian berdua bicarakan.” ujar Soku, sepertinya dia belum menyadari apapun.

“Jadi dugaanku memang benar.” ucap Shikamaru lirih. “Pantas aku merasa tidak asing dengan wajah-wajah ini.”

Pria tersebut memanggil si pemilik kedai. Tak lama, seorang laki-laki paruh baya keluar dari dalam ruangan, dia segera membungkuk berkali-kali, memberi hormat sekaligus meminta maaf kepada pria itu. Lucunya, itu adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh penduduk biasa kepada para bawahan Daimyo.

“Di-Dia... Dia dulu seorang ANBU, namanya Minoichi.” ujar Rou yang masih belum hilang rasa terkejutnya.

“Orang itu...”

“Kau tahu? Orang itu adalah salah satu yang menghilang dalam perang besar, iya kan?” tebak Soku, memotong kata-kata Shikamaru.

Mereka bertiga terus berjalan melewati kedai itu, sembari tetap memperhatikan pria yang menurut Rou bernama Minoichi tersebut. Mereka melakukannya sehati-hati mungkin agar si target tak merasa sedang diamati.

“Hanya ada satu cara memastikan itu.” ujar Shikamaru, dia tersenyum. “Mari kita tanyakan langsung padanya...”

--- H S M ---

“Kau sudah tak bisa bergerak lagi.” ujar Shikamaru pada seorang pria yang gemetaran di hadapannya.

Mereka berada di sebuah gang sempit di antara dua bangunan beton. Tempat ini sangat sepi, bahkan di tengah hari seperti ini.

Rou dan Soku berjaga di ujung gang yang mengarah ke jalan utama. Mereka bersembunyi dalam kegelapan, tanpa ada gerakan sedikitpun, berkonsentrasi penuh terhadap tugas mereka. Benar-benar menunjukkan diri sebagai para ANBU yang berpengalaman.

Bayangan yang sangat gelap, lebih gelap dari bayang-bayang matahari tengah hari itu, bergerak memanjang dari kaki Shikamaru. Merangkak sepanjang lorong gang tersebut layaknya ular berwarna hitam kelam, bayangan tersebut melilit erat tubuh pria di hadapan Shikamaru. Ujung-ujungnya berubah menjadi sebuah tangan yang melingkar di leher si korban, seakan siap mencekiknya kapan saja.

“Konoha Hiden, Kage Kubishibari no Jutsu...”

Keluarga Shikamaru, klan Nara, adalah pengguna teknik bayangan dari generasi ke generasi. Kubishibari no Jutsu memungkinkan penggunanya untuk membelenggu pergerakan lawannya. Teknik bayangan klan Nara adalah sesuatu yang sifatnya nyata. Mereka tak hanya dapat menghentikan, atau membelenggu seseorang, klan Nara juga dapat melukai orang lain menggunakan bayangan mereka.

“Aku katakan padamu... Aku bisa mematahkan lehermu dengan mudah menggunakan bayanganku ini.” ujar Shikamaru dengan roman suara yang terdengar parau.

“Ba-bagaimana bisa... Kau... Kau ini siapa dasar sial!”

“Oh, kau tidak mengenalku?” tanya Shikamaru. “Tapi aku mengenalmu... Minoichi-san.”

“A-apa yang kau bicarakan... Siapa itu, aku tidak kenal nama itu...”

“Berhentilah berlagak bodoh. Kau mantan Shinobi Konoha, bukan?” tanya Shikamaru lagi.

“Su-sudah ku... bilang, aku tidak tahu apa yang kau bicarakan! Lepaskan aku!”

Seketika, bayangan Shikamaru bergerak semakin dekat ke arah tenggorokan pria tersebut. Tangan-tangan gelap itu mencekik erat leher Minoichi.

“Urgghh...” Dia mengerang kesakitan.

“Kau terlahir di Konoha.” ujar Shikamaru. “Pastinya kau pernah mendengar tentang teknik bayangan klan Nara, bukan?”

“Kalau kau terus menerus bertingkah seperti ini, maka jangan salahkan aku...”

“...AKAN KUPATAHKAN LEHERMU.”

Ancaman itu yang keluar dari mulut Shikamaru. Suara paraunya membuatnya terdengar lebih menakutkan.

“Jadi, sebelum terlambat... katakan padaku sekarang juga. Kenapa Shinobi Konoha sepertimu berada di sini dan memakai pakaian seperti itu?” tanya Shikamaru sekali lagi.

“A-aku bukan lagi seorang Shinobi...” ucap Minoichi terbata-bata. “Aku... adalah orang yang tercerahkan!” lanjutnya.

“Orang yang tercerahkan? Apa maksudmu?”

“Heh... O-orang-orang lamban... yang hidup di dunia Shinobi yang tak pernah berkembang... orang-orang seperti kalian... tidak akan pernah mengerti tekad mulia kami!”

“Berhenti bicara tidak jelas. Yang aku tanyakan, apa yang kau maksud dengan ‘mereka yang tercerahkan’ itu?” tanya Shikamaru, sembari menguatkan cengkraman bayangannya.

“Ergghh!!” Minoichi semakin kesakitan.

“Bicaralah...” Ancam Shikamaru lagi, masih dengan suaranya yang parau. Auranya begitu dingin, seakan hati Shikamaru telah dirasuki kegelapan.

“Hahhh... Tidak mungkin! Kalian tidak mungkin bisa mengerti ―Eurghhhh!!”

Cengkraman bayangan itu semakin erat.

“Baiklah, bila memang itu pilihanmu... Akan kubunuh kau sekarang juga.”

Pupil Shikamaru melebar, membuat mata cokelatnya itu terlihat lebih gelap, sama gelapnya dengan bayangannya. Raut wajahnya terlihat sangat dingin, dia bersiap mengakhiri hidup tawanannya tersebut.

“Tu-tunggu! A-aku mengerti!”

“Hmm?”

“Aku... akan bicara...” ujar Minoichi.

Shikamaru melonggarkan belenggunya. Minoichi jatuh berlutut, terbatuk-batuk, air mata menetes deras dari kedua matanya.

“Baiklah, sekarang jawab aku. Apa atau siapa sebenarnya ‘yang tercerahkan’ itu? Dan kenapa banyak sekali mantan Shinobi yang berada di negeri ini?” Tanya Shikamaru.

Minoichi menghela nafas sejenak, lalu mulai bicara.

“Kami adalah Kakusha, ‘mereka yang tercerahkan’. Kami adalah penguasa di negeri ini. Di sini tidak ada orang rendahan yang kalian sebut Daimyo itu. Gelar ‘mereka yang tercerahkan’ diberikan kepada kami, para Shinobi yang telah membuka mata terhadap ideologi mulia tuan Gengo.”

“Tujuan kami adalah mengobarkan api revolusi yang sebenarnya di dunia ini, dan kami akan melangkah maju bersama tuan Gengo. Apapun yang orang-orang rendahan seperti kalian rencanakan, akan sia-sia saja di hadapannya.”

“Heh, lagipula... Apapun yang kau dengar dariku, tak akan membuat kalian mengerti tentang kebenaran negeri ini... Hahahahaha!!”

Minoichi berteriak dan mulai tertawa liar. Dia membuka rahangnya lebar-lebar, berusaha menggigit lidahnya sendiri. Minoichi ingin bunuh diri.

“Berhenti! Dasar bodoh!” Shikamaru panik.

Terlambat. Pria itu tumbang.

Untuk sesaat, Shikamaru berpikir Minoichi telah benar-benar mati, namun tak lama, Shikamaru menyadari keadaan sebenarnya. Ada sesuatu yang menusuk leher Minoichi sesaat sebelum dia tumbang.

“Kau tahu? Aku menembakkan jarum chakra pelumpuh padanya. Dia tak akan bisa bergerak selama... entah, mungkin tiga hari, atau lebih.”

Itu Soku yang berbicara. Ternyata dia telah berdiri di samping Shikamaru tanpa disadarinya.

“Huh, lagipula... apanya ‘yang tercerahkan’. Kau tahu? Itu terdengar sangat menjengkelkan.” ujar Soku, sembari menatap Minoichi yang sudah tak sadarkan diri.

Wajah mantan Shinobi itu terlihat tenang dalam tidurnya.

--- Bersambung ke Novel Shikamaru Hiden Chapter 09 ---



Kembali Ke daftar Isi
 Klik



Sumber DNI.

No comments:

Post a Comment